Merawat Akal Sehat: Kritik Terhadap Pemberitaan PEKA UMT

Merawat Akal Sehat: Kritik Terhadap Pemberitaan PEKA UMT | Foto ©ElisaRiva/Pixabay

Pada hari Senin, 18/09/2018 muncul sebuah pemberitaan di media sosial Instagram yang mengatasnamakan PEKA UMT (Pers Kampus Universitas Muhammadiyah Tangerang dengan
 judul “FAM Tangerang Kritik Demo Mahasiswa Tidak Pro Rakyat”. Pemberitaan tersebut merupakan kritik terhadap demonstrasi mahasiswa yang dianggap tidak pro rakyat.
Kritik pada hakekatnya merupakan sebuah uraian mengenai fakta-fakta yang terjadi serta dilandaskan pada asumsi-asumsi ideal. Artinya bahwa, kritik yang diberitakan harus sesuai dengan fakta yang terjadi pada demonstrasi mahasiswa tersebut.

Tanpa bermaksud “kegeeran” dan “kepedean”, kami dari Aliansi Mahasiswa Tangerang Raya (AMTR) bermaksud untuk memberikan "Hak Jawab” terhadap pemberitaan tersebut dengan maksud untuk memberikan edukasi dialektik dalam menanggapi segala bentuk permasalahan, khususnya permasalahan perbedaan pandangan. (walaupun pemberitaan tersebut belum tentu ditujukan untuk kami heuheu)

Ada dua hal yang ingin kami koreksi terkait pemberitaan oleh PEKA UMT. Pertama, metode berpikir dalam menghasilkan sebuah karya tulis. Kedua, landasan yuridis pers dalam pembuatan dan publikasi sebuah naskah berita.

Metode Berpikir: 
Mahasiswa, sebagai bagian dari masyarakat yang dianugerahi gelar insan akademis, sudah sepatutnya berpikir secara metodik dan ilmiah. Tak terkecuali dalam memberitakan sebuah fenomena. Seperti halnya dalam paragraf ketiga pemberitaan PEKA UMT yang menyebutkan “...mahasiswa itu adalah intermediate actor, atau sebagai pihak yang tidak memihak manapun, kecuali kemanusiaan, kesejahteraan, keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia”.

Apabila kita melihat isi berita PEKA UMT paragraf ketiga diatas, tidak ada masalah dengan metode berpikir yang menghasilkan tulisan tersebut. Akan tetapi diisi berita yang lain terdapat kejanggalan metode berpikir, diantaranya:
1) Pada paragraf kedua disebutkan bahwa “...persoalan kenaikan dollar tak lepas dari perang dagang antara amerika dengan cina yang berdampak keseluruh negara di dunia justru Indonesia lah yang paling kuat menekan laju inflasi”.
Dari kutipan pemberitaan diatas, ada pereduksian analisis. Sekurang-kurangnya ada lima analisis hasil kajian elemen mahasiswa dan beberapa lembaga ekonomi terkait melemahnya rupiah, diantaranya: Neraca perdagangan defisit, Kinerja perdagangan yang kurang optimal, Yield Spread, Sistem perbankan dan perang dagang, Krisis Argentina. Artinya bahwa, secara metode berpikir logis, pemberitaan tersebut merupakan Appeal to Authority, menganggap bahwa asumsi mengenai perang dagang amerika vs cina, dan Indonesia paling kuat menekan laju inflasi merupakan kebenaran yang valid, tanpa menyelidiki analisis lain secaralebih lanjut.
2) Di paragraf keempat diungkapkan bahwa “Kita harus menjelaskan ke publik bahwa mahasiswa berdiri di tengah-tengah untuk mengkritik pemerintah karena hal yang paling fundamental adalah persoalan sarana serta fasilitas kesehatan...”
Ungkapan diatas mengharuskan mahasiswa melakukan kritik secara fundamental. Apabila ini pernyataannya, kami sepakat 100%. Tapi, karena kami harus berpikir secara fundamental, ternyata ungkapan pada paragraf keempat tersebut tidak memiliki landasan akademis yang fundamental, karena persoalan kesehatan tidak hanya soal sarana dan fasilitas, tapi lebih mendasar dari problem itu adalah dijadikannya institusi kesehatan sebagai komoditi dan komersialisasi. Dengan meminjam istilah Paulo Freire, apabila kritik terhadap kesehatan hanya pada persoalan sarana dan fasilitas, maka mereka berada dalam tahap kesadaran naif (naival consciousness). Dan seorang mahasiswa yang berpikir fundamental seharusnya memiliki kesadaran kritis (critical consciousness), menjadikan “Sistem Kesehatan” sebagai objek material yang menyebabkan terjadinya problem kesehatan.
Sedikit saran, tontonlah film Watchdoc yang berjudul “Gorontalo Baik”. Disitu menunjukkan bahwa “fasilitas kesehatan tidak selalu berkorelasi langsung dengan kesehatan” heuheuheu 
3) Pada paragraf kelima, diterangkan bahwa “walaupun saat ini sudah mendekati kontestasi pileg dan pilpres mengingat kondusifitas negara kita yang saat ini sedang mengalami degradasi moral..."
Menjadi menarik ketika sebuah pemberitaan A akan tetapi isinya bergeser atau dikaitkan ke pemberitaan B. Dari demo masalah ekonomi (melemahnya rupiah, privatisasi industri makro, regulasi diskriminatif terhadap tenaga kerja lokal dan dijadikannya liberalisme sebagai asas ekonomi) menjadi pembahasan mengenai Pilpres dan Pileg. Apa korelasinya?
Dalam ilmu logika, hal demikian merupakan sebuah kecacatan berpikir logic atau disebut dengan False Cause (mengasumsikan bahwa ada hubungan sebab-akibat (causation) antara hal-hal yang terjadi secara bersamaan atau berurutan (correlation).

Landasan Yuridis Pers Dalam Pembuatan Dan Publikasi Sebuah Naskah Berita:
Seperti yang kita ketahui secara bersama bahwa, Indonesia merupakan negara Hukum, maka sudah selayaknya seluruh entitas Bangsa Indonesia mentaati aturan hukum yang ada. Begitu juga dengan Pers, pasca runtuhnya rezim orde baru yang otoriter terhadap pers di Indonesia, di era reformasi saat ini, pers mendapatkan ruang kebebasan dengan payung hukum UU No. 40 Th. 1999 Tentang Pers.
Dalam UU No. 40 Th. 1999 pasal 5 ayat 1 menyebutkan “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”.
Dalam praksis, kutipan pada pemberitaan yang dibuat oleh PEKA UMT dibawah ini:
Pihaknya menduga bahwa ada Politisasi perihal Isu Dollar saat ini.
“jelas ada yang mempolitisasi isu naiknya dolar dari pihak lawan politik jokowi saat ini”.
Kutipan diatas, selain cacat penulisan, tidak ada bukti penguat, juga bertentangan dengan hukum. Pertama, apabila paragraf terakhir itu berkaitan dengan paragraf sebelumnya, maka seharusnya dituliskan kata “menduga” sesuai dengan paragraf sebelumnya dikarenakan ada dua orang dalam tulisan tersebut, pertama adalah penulis berita tersebut, dan kedua adalah orang yang dimintai keterangan. Berarti, kemungkinannya adalah si penulis berita keliru terhadap tulisannya, atau kutipan paragraf terkahir tersebut merupakan pemberitaan yang sebenarnya.
Kedua, adanya sebuah hipotesa “...ada yang mempolitisasi...” akan tetapi tidak disertai dengan bukti penguat atau tidak diiringi dengan asumsi-asumsi yang melegitimasi hal tersebut. Berarti, dugaan tersebut gugur (invalid).
ketiga, bertentangan dengan hukum. Apabila paragraf terakhir tersebut adalah kutipan yang sebenarnya, maka pemberitaan tersebut bertentangan dengan UU No. 40 Th. 1999 pasal 5 ayat 1.

Terakhir, aku ingin mengutip kata-kata Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) sekaligus aku  ingin mengajak untuk kita bersama-sama implementasikan. 
“Kalau menurutmu aku ini orang tersesat, kenapa tak kau peluk dan sayangi aku, kemudian kau tunjukkan kebenaran itu. Kenapa kau malah membenciku, mengutuk, menghardik, bahkan memutus persaudaraan denganku”.

Penulis: Ade Aji Maulana
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca lainnya