Sekolah Tanpa Guru Dan Mata Pelajaran

Sekolah Tanpa Guru Dan Mata Pelajaran | Foto ©Foundry/Pixabay

Berawal dari keresahan terhadap sistem pendidikan yang dijadikan komoditi dengan mengarah pada
Profit Oriented, sekelompok anak muda membentuk sebuah metode belajar yang diberi nama Sekolah Proletariy.

Sekolah Proletariy ini dibentuk pada Minggu, 4/3/2018 di Kelurahan Cibodas Kota Tangerang. Tujuan daripada pembentukan sekolah ini adalah untuk mewujudkan pendidikan yang ilmiah dan demokratis.

"Sekolah ini kami bentuk sebagai sebuah antitesa terhadap institusi sekolah atau perguruan tinggi yang semakin hari semakin mencerabut substansi dari pendidikan itu sendiri." kata Didih menyampaikan kepada tim wartaproletariy.blogspot.com seusai acara pembentukan Sekolah Proletariy (4/3/2018).

Didih yang merupakan salah satu pembentuk Sekolah Proletariy ini melanjutkan "adanya gap antara posisi murid dan guru di institusi pendidikan kita saat ini. Seperti pendidikan kuno, dimana guru lebih tahu segalanya dan murid tidak tahu apa-apa, guru menjelaskan dan murid mendengarkan, guru sebagai subjek dan murid sebagai objek. Kondisi demikian akan menciptakan intelektual mekanis."

Dengan latar belakang kekecewaan terhadap sistem pendidikan, Sekolah Proletariy ini menawarkan sebuah metode baru dalam belajar. 

"Di Sekolah Proletariy tidak ada guru dan mata pelajaran berbasis kurikulum seperti di sekolah-sekolah pada umumnya. Bagi kami, semua orang adalah guru dan setiap peristiwa adalah pelajaran." Ungkap Didih

Metode belajar di Sekolah Proletariy ini  menggunakan metode riset berbasis keinginan ataupun kebutuhan para pesertanya. 

Rara, yang juga satu dari sekelompok anak muda yang membentuk Sekolah Proletariy ini menuturkan "pada hakekatnya, setiap orang itu tidak seragam. Kita memiliki kapasitas dan pola pikir yang berbeda-beda. Termasuk soal menerima dan mempelajari suatu pelajaran. Jadi, sekolah ini mencoba menjawab probelamatika yang terjadi di sekolah mainstream dengan menggunakan metode riset berbasis keinginan dan kebutuhan serta tidak menjadwalkan pelajaran apa atau mata kuliah apa yg harus dipelajari, melainkan masing-masing pesertalah yg menentukan."

Sementara ini, Sekolah Proletriy mengadakan pertemuan 2 minggu sekali, yang diadakan hari Kamis pukul. 19.00-22.00 WIB dengan tempat yang tidak terpaku di ruangan kelas, tempat ditentukan melalui kesepakatan secara bersama. 

"Kami mengadakan pertemuan dua minggu sekali agar rentan waktu dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya digunakan untuk melakulan riset, kita semua melakukan observasi dan membuat laporannya (karya tulis atau bentuk lain). Kemudian, setiap pertemuan diadakan presentasi dari hasil pembelajaran kita selama riset. Semuanya menjadi guru, juga sekaligus murid." Kata Rara menjelaskan.

Rara, perempuan yang hobi melukis ini mengatakan bahwa dirinya terinspirasi membentuk Sekolah Proletariy ini dari Toto Rahardjo, "beliau merupakan tokoh pendidikan dan kebudayaan yang progresif, dia membentuk sebuah taman belajar yang dinamai SALAM (Sanggar Anak Alam) di daerah Bantul, Jogjakarta. Disana semua anak bermain. Cara bermain mereka, menggambarkan situasi pendidikan yang substansial."

Adanya stigma bahwa yang berpendidikan adalah mereka yang sekolah. Sedangkan yang tidak sekolah adalah mereka yang tidak berpendidikan. Argumentasi demikian langsung dibantah oleh sekelompok anak muda ini. Bahwa pendidikan tidak hanya dimiliki oleh institusi pendidikan (sekolah), yang kemudian direduksi maknanya kedalam lembar administatif yakni Ijazah.

"Pendidikan, gabisa ditafsirkan hanya sebatas Ijazah. Bagaimana apabila seorang yang Sarjana namun tidak memiliki keahlian apapun? Jangankan untuk memiliki keahlian guna menjawab problem masyarakat, untuk mengatasi problemnya sendiri apakah bisa? Ya, mungkin sebagian bisa. Tapi bagi yang tidak bisa, apakah sekolah bertanggung jawab?"

Harapan dari dibentuknya Sekolah Proletariy ini yaitu agar peserta didik memiliki seperangkat keahlian dan pengetahuan guna menjawab problem kehidupan saat ini.

Terakhir, Rara mengutip perkataan Tokoh Pendidikan yang ia kagumi, Toto Rahardjo "mendengar aku lupa, melihat aku ingat, melakukan aku paham, menemukan sendiri aku menguasai".

Penulis: Ade

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca lainnya