Media yang Tidak Ramah Gender
Media yang Tidak Ramah Gender | Foto ©Istimewa |
Hari ini perhatianku terganggu dengan pemberitaan di media massa yang memberitakan seorang artis mengakui bahwa dirinya yang ada dalam video hubungan seksual yang disebar oleh orang yang tak bertanggungjawab. Pemberitaannya begitu massif melebihi berita rival politik yang tiba-tiba saja jadi kawan dalam kabinet.
Selain pemberitaannya yang menghiasi semua lini media sosial ini menggangguku, isi pemberitaannya pun bias gender. Perempuan hanya dijadikan objek dan komoditi bagi industri media. Hal tersebut terlihat dari isi berita yang hanya menonjolkan popularitas seorang perempuan dan tidak menggunakan inisial bahkan dengan gamblangnya menampilkan foto perempuan itu. Saya yakin, sedikit dari publik yang tahu siapa yang menyebarkan video tersebut. Bukankah dia penyebab kasus ini masuk ranah pidana?
Sebagai orang yang aibnya tidak mau diumbar, aku menyadari bahwa orang lain tidak rugi atau diuntungkan secara signifikan dengan mengetahui aibku. Persepsiku soal rugi-untung ini juga sebetulnya berlaku pada kasus ini: Tidak ada dampak yang baik secara signifikan dari hebohnya pemberitaan aib seseorang kecuali bagi mereka yang memanfaatkan ini sebagai komoditi dan “panjat sosial” dari popularitas orang yang diberitakan. Apalagi dia memiliki kerabat dan keluarga, apakah mereka tidak terpukul dengan pemberitaan dan komentar negatif publik terhadap orang terdekatnya? Kalau aku diposisi itu tentu akan sangat sedih dan depresi.
Salah satu tekad wartawan menurut Jim Lehrer adalah “Saya akan meliput, menulis dan menyajikan setiap berita dengan kehati-hatian yang sama hati-hatinya dengan jika berita itu tentang saya atau keluarga saya sendiri”. Dari pemberitaan tentang seorang artis yang videonya disebar dan dijadikan tersangka, seorang wartawan atau siapapun yang memproduksi berita tersebut tentu tidak memiliki kehati-hatian, karena tulisannya cenderung mendiskriminasi perempuan, tidak memperhatikan asas praduga tak bersalah, membentuk budaya patriarki di kalangan masyarakat dan melanggengkan pasar tak ramah gender. Berita tersebut sepatutnya dikoreksi! Jim Lehrer memberikan sebuah panduan bagi siapapun yang ingin memproduksi berita agar tetap memegang teguh kaidah-kaidah jurnalistik.
Dari kasus ini seharusnya kita belajar bahwa dibalik pemberitaan yang berlebihan ini, ada keluarga yang hatinya terluka karena orang terdekatnya diobjektivikasi, ada anak yang depresi karena ibunya dijadikan bahan olok-olokan di status medsos, ada ibu yang menangis siang dan malam karena anaknya menjadi perbincangan orang-orang yang tidak lebih suci dari anaknya.(Ade)